Minggu, 05 Desember 2010

Tahajud di Pasar

Selepas sholat subuh langsung kutanggalkan mukenah lalu kulipat rapi dan meletakkannya di atas sajadah yang terhampar di sudut kamar. Dingin udara pagi membelai lembut kulitku melalui jendela kamar yang terbuka lebar. Bergegas kumempersiapkan diri untuk turut pergi ke pasar menemani ibu belanja. Hari ini ibu ketempatan arisan PKK, jadi kami harus memperisapkan jamuan untuk itu. Kukenakan kerudung motif bunga-bunga warna putih. Kuambil cermin lalu kuamati sebentar. Hmmm...sipp uda manis kok gemingku dalam hati yang tersenyum menghibur diri.

Ibu ternyata lebih sigap daripada aku. Beliau sudah menunggu di depan rumah. Dengan meliuk-liukkan badan ke kanan dan kekiri ibu mencoba melakukan pemanasan sebelum kami berjalan-jalan pagi menyusuri jalanan arah pasar.

“ Ayoo....bu” ajaku sambil berlari-lari kecil.
“ Sudah di kunci nak pintunya?” sambil tersenyum ibu bertanya memastikan
“ Sudah...” jawabku

Kami berlari-lari kecil melewati rumah-rumah yang masih tertutup rapat. Hanya sebagian kecil yang sudah terbuka pintu rumah yang kami lalui. Sengaja kami tidak menggunakan alas kaki agar kaki kami bisa langsung bersentuhan dengan aspal jalan yang tiada pernah mengeluh saat kami injak-injak tiap kali melewatinya. Sesekali aku berhenti berlari dan jalan sekenanya. Capek juga ternyata walau hanya berlari-lari kecil. Beda dengan ibu yang terus berlari. Walau dengan langkah pendek-pendek namun beliau terus tanpa berhenti. Istiqomah.

Selama menyusuri jalan ke pasar ibu selalu mengulang-ulang cerita indah saat bersama almarhum ayah. Ibu sangat terkesan dengan kenangan-kenagnan indah yang dilalui kala ayah masih ada. Sementara aku menimpali dengan sesekali menggoda ibu. Kami terlihat bukan seperti ibu dan anak, tapi lebih pas bila disebut teman akrab atau sahabat. Karena derai tawa kami sering terdengar renyah menyapa daun-daun pohon yang kami lalui.
Sesampai di pasar, kami mencoba membela orang-orang yang sudah banyak mengisi ruang di jajaran stand para pedagang. Ada juga sebagian pedagang yang masih terlihat baru datang dan membuka barang dagangannya. Kami terus melewati orang yang hilir mudik mencari masing-masing kebutuhannya. Sedangkan kami mencari penjual lontong yang tempatnya di ujung barat dekat pertigaan.

“ Hmm...nak, orang-orang ini jam berapa ya berangkat dari rumah, sekarang mereka sudah ada di pasar untuk jualan. Apalagi yang jual makanan mateng. Bisa -bisa jam satu malam mereka sudah repot masak.”
“ Mungkin mereka sebelum adzan subuh sudah ada di sini bu... setidaknya jam tiga mereka sudah siap-siap.”
“ Dulu ibu sama ayah pernah jualan nasi juga. Jam satu sudah bangun masak sampai subuh. Lepas subuh kami baru nitipkan nasi ke pasar atau langganan. Capek nak, akhirnya kami berhenti karena sudah gak mau repot-repot lagi. Wongya anak-anak sudah pada mentas semua. Jadi kan gak ada tanggungan. Mending kami habiskan untuk sholat dan mendekatkan diri sama Allah. Menikmati masa pensiun.”

Dengan tersenyum kutatap wajah wanita yang penuh guratan kisah kehidupan selama lebih dari enam puluh tahun ini. Wanita yang beberapa tahun belakangan ini telah mengisi hari-hari indahku. Wanita yang ditakdirkan Allah untuk mengajari arti kelembutan. Wanita yang selalu memompa semangatku. Wanita yang senantiasa mencurakan kasihsayangnya dikala aku jauh dari ibu kandungku.

“ Bu..., para pedagang ini juga tahajud lho mesti mungkin tidak mendirikan sholat. Mereka tahajudnya di pasar.”
“ Hehehe...Kamu ini nak, aneh-aneh. Masak bisa tahajud dipasar.”

“La iya. Pinjem istilah kan boleh. Bukannya selama mereka dalam melaksanakan aktifitasnya itu karena Allah mak termasuk ibadah? Bayangin bu, misal orang yang jual sayuran itu, mulai dari bangun tidur meluruskan niat bahwa apa yang dia kerjakan malam hari ini semata-mata karena Allah yang telah memberikan takdir padanya sebagai pedagang, sebagai jalan turunya rejeki untuk kehidupan keluarganya. Apalagi di setiap gerak dan langkahnya diiringi dengan do'a-do'a pengharapan pada Allah. Misal mau keluar rumah saja dia berdoa 'Ya Allah...saya pergi kepasar malam ini hanya untuk mencari rahmat dan ridhoMu. Semoga Engkau turunkan atas kami berkahMu.' Dengan begitu kan dagangannya penuh dengan barokah.”

“Iya ya nak, yang Allah lihat itu kan niatnya ya... Semisal kita bangun malam sholat tahajud tapi jika itu kita niatkan bukan untuk Allah berarti itu kan masih kurang baik. Kurang Ikhlas. Bisa-bisa lebih baik yang pergi ke pasar dengan meluruskan niat untuk memenuhi ketentuan Allah yang telah memberi takdir padanya sebagai pedagang. Gitu ya nak..?”

“Bener sekali bu... kita yang sering salah menilai. Coba kalau nuruti nafsu kita, kan kita lebih merasa baiknya orang-orang itu pada bangun malam untuk sholat tahajud dan waktu subuh kita penuhi masjid untuk bejama'ah. Duuhhh senengnya lihat orang-orang pada beriman dan rajin ibadah. Padahal kalau nurutin nafsu kita begitu, bisa-bisa pasar ini sepi gak ada yang jualan. Terus bagaimana kita untuk memenuhi kebutuhan. Kan repot.”

“Sebenarnya semua kan sudah diatur oleh Allah sedemikian rupa. Ada yang menjadi ini, ada yang menjadi itu. Semua pada tempatnya masing-masing. Tinggal kita pada tempat kita seperti apa. Apakah kita menerima, ridho dengan ketentuan yang Allah berikan pada kita? Semua peranan dari Allah, dan kita jadikan peranan itu untuk Allah juga. Dan jika kita Ikhlas menerima, tentunya kita akan menjalani peranan itu dengan baik dan penuh syukur. Dan disaat kita mau bersyukur Allah akan menambah nikmatNya. Itu sudah janji Allah.” nyerocos aja mulutku tak terkendali sudah. Lagaknya kaya sedang berdiri di mimbar dengan jama'ah yang hikmat menyimak. Tersenyum keki aku kala seorang pedagang menatapku tak berkedip. Entah takjub atau munkin neg mendengarku.

Ibu senyum-senyum melirik ke arahku. Entah apa yang difikirkan. Hanya sorot mata bahagia yang sekilas kutangkap dari binar-binar yang terpancar. Kami berhenti di depan penjual lontong yang sedang melayani beberapa orang pembeli. Kami tidak terlalu lama menunggu karena kami sudah memesan satu hari sebelumnya. Kami tinggal mengambil dan memberi kekurangan pembayaran.

Kranjang yang terisi lontong sebanyak empat puluh buah itu menjadikan lumayan berat saat aku menjinjingnya. Ibu berjalan memimpin didepan untuk melengkapi belanjaan kami. Belanja ini belanja itu. Lengkap sudah semua masuk keranjang. Kami berputar arah keluar pasar yang sebelumnya mampir membeli kue jajan pasar. Ada Getuk, Lemet, Klanting, Lopes, dan teman-temannya. Hmm......


******

Tidak ada komentar:

Posting Komentar